Liputan6.com, Jakarta Seni Gondang Buhun merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat adat Sunda Wiwitan. Terutama yang berada di kawasan selatan Jawa Barat seperti Pangandaran, khususnya di daerah-desa yang masih memegang erat akar adat dan nilai-nilai spiritual leluhur.
Kata Gondang dalam bahasa Sunda merujuk pada alat musik tabuh seperti gendang atau bedug, sedangkan Buhun berarti kuno atau lama, yang secara harfiah bisa diartikan sebagai tabuhan kuno atau gendang leluhur. Namun makna dari Gondang Buhun jauh melampaui sekadar alat musik.
Ia adalah manifestasi dari komunikasi spiritual antara manusia dengan alam dan leluhur, sebuah medium ritualistik yang memainkan peran penting dalam struktur sosial dan spiritual masyarakat adat Pangandaran.
Dalam setiap penampilan Gondang Buhun, tidak hanya ada musik dan tarian, melainkan juga doa-doa, mantra, dan simbol-simbol yang berkaitan erat dengan kepercayaan kosmologis Sunda Wiwitan.
Instrumen-instrumen yang digunakan dalam Gondang Buhun tidak dibuat sembarangan bahan baku dan proses pembuatannya harus mengikuti pakem dan ritual tertentu agar memiliki kekuatan spiritual yang sahih menurut adat. Dengan kata lain, Gondang Buhun bukan hanya hiburan, tetapi bagian dari kehidupan sakral yang menjaga harmoni antara manusia, leluhur, dan alam semesta.
Dalam pelaksanaannya, Gondang Buhun biasanya dimainkan dalam konteks upacara adat, seperti Seren Taun (perayaan panen raya), Mapag Sri (penyambutan Dewi Padi), atau ritual pengobatan dan pembersihan kampung dari bala dan energi negatif.
Musik Gondang Buhun memiliki ritme yang lambat namun kuat, diiringi oleh lantunan nyanyian yang seringkali berupa puji-pujian kepada leluhur atau permohonan kepada roh alam.
Penari dalam upacara ini pun biasanya tidak sembarang orang, tetapi orang-orang tertentu yang dianggap memiliki kedekatan spiritual, seperti juru kunci, sesepuh adat, atau orang-orang yang sedang menjalani proses pensucian diri. Mereka menari dalam keadaan setengah trans atau kesurupan, menandakan bahwa roh leluhur telah hadir dan turut serta dalam upacara.
Kebudayaan Lokal
Hal ini menunjukkan betapa tinggi nilai spiritual Gondang Buhun dalam struktur budaya masyarakat Pangandaran. Bahkan, dalam beberapa kasus, Gondang Buhun dianggap sebagai penghubung antara dunia nyata dan dunia gaib di mana manusia dapat berkomunikasi secara langsung dengan kekuatan tak kasat mata yang diyakini menjaga keseimbangan jagat raya.
Namun demikian, dalam arus deras modernisasi dan globalisasi, eksistensi Gondang Buhun semakin terdesak dan cenderung dilupakan, terutama oleh generasi muda yang lebih akrab dengan budaya populer dan teknologi digital daripada tradisi nenek moyangnya.
Hal ini menjadi kekhawatiran besar bagi para budayawan dan pelestari adat di Pangandaran. Tidak sedikit dari mereka yang merasa prihatin melihat bagaimana upacara-upacara adat yang dahulu ramai dan sakral kini hanya menjadi tontonan wisata atau bahkan hanya dokumentasi sejarah.
Di sinilah letak paradoks budaya: ketika suatu tradisi mulai dikenalkan ke publik luas melalui festival atau pertunjukan budaya, ia justru mulai kehilangan esensi sakralnya karena terpaksa menyesuaikan diri dengan tuntutan tontonan dan komersialisasi.
Dalam konteks ini, Gondang Buhun menghadapi dilema antara mempertahankan nilai-nilai spiritualnya yang asli atau membuka diri terhadap reinterpretasi yang lebih sesuai dengan zaman.
Maka dibutuhkan kebijakan kultural dan kesadaran kolektif baik dari pemerintah daerah, komunitas adat, hingga kaum muda untuk menjaga Gondang Buhun tetap hidup, tidak hanya sebagai artefak sejarah tetapi sebagai sistem pengetahuan dan spiritualitas yang masih relevan dalam menjawab tantangan zaman kini.
Penting juga untuk menyadari bahwa pelestarian Gondang Buhun tidak semata-mata soal mempertahankan bentuk fisik atau pertunjukan semata, tetapi lebih pada menjaga keberlanjutan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Gondang Buhun mengajarkan harmoni dengan alam, rasa hormat kepada leluhur, serta kesadaran spiritual atas kehidupan manusia sebagai bagian kecil dari tatanan kosmis yang lebih besar.
Dalam situasi dunia yang semakin materialistik dan eksploitatif terhadap alam, nilai-nilai Gondang Buhun justru bisa menjadi solusi moral dan filosofis yang dibutuhkan umat manusia.
Oleh karena itu, revitalisasi Gondang Buhun hendaknya tidak hanya dibebankan pada komunitas adat saja, tetapi juga melibatkan institusi pendidikan, media massa, dan platform digital agar lebih banyak orang khususnya generasi muda mengenal, memahami, dan mencintai budaya leluhurnya sendiri.
Upaya digitalisasi, dokumentasi, pelatihan, hingga kolaborasi dengan seniman modern bisa menjadi jembatan yang menjadikan Gondang Buhun kembali relevan tanpa menghilangkan ruh aslinya. Dengan demikian, seni Gondang Buhun dapat terus berdetak dalam denyut nadi kebudayaan Pangandaran, tidak sebagai kenangan masa lalu, tetapi sebagai warisan hidup yang menyinari masa depan.
Penulis: Belvana Fasya Saad