Fenomena 'Brain Drain', Pakar UGM Desak Hentikan Rekrutmen Kerja Jalur 'Ordal'

1 month ago 39

Liputan6.com, Yogyakarta - Fenomena brain drain atau hengkangnya kaum intelektual, ilmuwan dan cendekiawan yang memilih menetap di luar negeri kini tengah marak di Indonesia.

Menurut pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM, Hempri Suyatna fenomena brain drain di Indonesia sebenarnya sudah terjadi sejak lama.

Ia memberikan contoh di tahun 1960-an banyak mahasiswa Indonesia yang berkuliah di luar negeri dan tidak kembali ke Indonesia dan memilih bekerja di luar negeri.

“Adanya fenomena ini terus terjadi saat ini di mana banyak tenaga-tenaga terampil dan profesional Indonesia yang memilih berkarir di luar negeri daripada di Indonesia,” kata Hempri, Kamis 23 Januari 2025.

Hempri mengatakan data Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham, sejak tahun 2019 hingga 2022 ada 3.912 warga negara Indonesia (WNI) yang beralih menjadi warga negara Singapura menegaskan Indonesia terancam kehilangan SDM yang berkualitas dan memiliki potensi. Kondisi tersebut menunjukkan jika Singapura menjadi tempat yang lebih nyaman untuk karir.

”Bisa dikatakan Singapura dianggap lebih baik sebagai tempat untuk berkarier dan mendapatkan kesempatan ekonomi dan pendidikan,” ujarnya.

Ia menjelaskan fenoeman brain drain ini sebagian besar warga yang pindah memiliki rentang usia produktif, yakni 25-35 tahun sangat disayangkan. Bahkan dari laporan peringkat human flights and brain index tahun 2024 yang dikeluarkan oleh The Global Economy, Indonesia saat ini berada pada peringkat ke-88 dari 175 negara.

“Selama ini anak-anak muda ini punya kemampuan potensial, kreativitas, dan inovasi yang lebih unggul. Hal ini tentunya sangat disayangkan ketika mereka harus pergi ke luar negeri. Indonesia tidak hanya kekurangan tenaga-tenaga terampil, tetapi ini dapat mengakibatkan munculnya ketimpangan ekonomi antar negara maupun lambatnya akselerasi pembangunan di Indonesia,” ujarnya.

Meminimalisir fenomena brain drain maka, menurut Hempri, solusinya adalah konsep link and match apalagi program ini sebenarnya sudah lama dikembangkan termasuk yang terakhir di era Menteri Nadiem Makarim kemarin dengan program Kampus Merdeka melalui beberapa program seperti magang, wirausaha, pertukaran mahasiswa, dan sebagainya. Model-model semacam ini sebenarnya cukup menarik agar di satu sisi mahasiswa juga siap masuk ke pasar kerja ketika sudah lulus, namun banyak kendala yang dihadapi di lapangan.

“Misalnya soal pendampingan pasca kegiatan dan sebagian mahasiswa mengikuti program-program tersebut yang seringkali lebih berorientasi pada mendapatkan nilai sehingga hal-hal yang dipelajari selama pelaksanaan kegiatan kurang berkembang dengan optimal,” paparnya.

Hempri juga mendesak pemerintah agar segera membuat Grand Design Pembangunan Kependudukan yang menjadi semacam blue print di dalam penyusunan peta kebutuhan dan ketersediaan lapangan kerja. Hal ini agar sesuai dengan keahlian yang dimiliki para lulusan dari Perguruan Tinggi.

“Harapannya dengan adanya link and match antara pendidikan dengan pasar kerja diharapkan akan mampu meminimalkan anak-anak muda terampil untuk bekerja di luar negeri,” jelasnya.

Namun menurutnya peta kebutuhan ini tidak akan cukup mengingat situasi pasar kerja yang dinamis. Bahkan selama proses rekrutmen tenaga kerja hanya mengandalkan sistem kekerabatan atau kekeluargaan ataupun lebih dikenal dengan istilah Ordal (orang dalam) maka program tersebut hanya sia-sia belaka.

“Kita lihat kondisi ini yang seringkali masih dominan di kita sehingga orang yang memiliki kompetensi baik belum tentu diterima di pasar kerja,” ujarnya.

Simak Video Pilihan Ini:

Kemenperin Bidik Animator Andal dari Cilacap

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |