Liputan6.com, Yogyakarta - Belum mandirinya produksi susu di Indonesia, pemerintah berencana melakukan impor susu secara besar-besaran untuk program minum susu gratis ini. Guru Besar Fakultas Peternakan UGM, Widodo Hadisaputro, mengatakan pemerintah sebaiknya menghindari ketergantungan importasi susu, dan menggerakkan sektor peternakan sapi atau kambing perah, serta menghidupkan industri persusuan nasional demi kemandirian susu nasional jangka panjang.
“Untuk mencapai hal ini, perlu manajemen budidaya pengelolaan ternak yang baik serta pemilihan dan penyediaan bibit indukan dengan kualitas genetik adaptif dengan iklim tropis basah di low land areas,” paparnya, Rabu 16 Oktober 2024.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) tahun 2021, kebutuhan susu nasional sebesar 4,38 juta ton. Produksi susu segar dalam negeri (SSDN) hanya mampu memenuhi 997,3 ribu ton atau 22% saja yang dihasilkan dari sejumlah 584.582 ekor sapi perah.
Soal rencana pemerintah untuk melakukan impor sapi dari Australia, New Zealand, Brazil, atau Eropa untuk memenuhi kebutuhan susu nasional tahun 2029 adanya peningkatan jumlah sapi perah betina dewasa menjadi 4x lipat dari saat ini, atau kurang lebih sebesar 2,3 juta ekor. Menurutnya memerlukan usaha yang luar biasa dengan risiko tidak sedikit.
“Harapannya produksi susu akan meningkat 6 kali lipat menjadi 6 juta ton. Akan tetapi, mendatangkan ternak dalam jumlah besar seperti itu memerlukan tahapan yang sangat teknis dan saya kira membutuhkan effort yang luar biasa dengan mengikuti peraturan impor dari negara asal dan negara kita sendiri,” ujar Widodo.
Widodo menjelaskan untuk menjalankan rencana ini negara perlu mengikuti peraturan negara asal, Peraturan Menteri Perdagangan No. 29 tahun 2019 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan, serta mematuhi protokol Badan Karantina Pertanian, termasuk segala dokumen persyaratannya.
“Salah satu yang perlu dicermati adalah karantina. Jangan sampai ternak datang membawa penyakit bawaan yang dapat menyebar ke ternak lokal seperti kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK),” katanya.
Melakukan program minum susu gratis in pemerintah dan pelaku harus melihat tidak dari segi birokrasi importasi saja, tapi juga perlu memikirkan lokasi kandang, kesediaan hijauan yang baik sebagai pakan ternak, serta kesediaan lahan untuk hijauan. Akibatnya, akan muncul kompetisi penggunaan lahan bagi manusia dan hewan ternak.
”Program kemandirian susu jangan hanya menguntungkan industri besar peternakan sapi perah, tetapi juga ditujukan untuk pengembangan peternakan sapi perah rakyat, baik melalui koperasi atau kelompok peternak,” tegas Widodo.
Widodo mengatakan penting juga skema kerja sama antara korporasi besar dengan inti rakyat. Maka, rakyat dapat ikut mengembangkan sapi yang disediakan melalui korporasi besar misalnya.
“Jika memungkinkan juga untuk masyarakat peternak, koperasi dan peternakan rakyat yang sudah eksis dengan skema yang memungkingkan mereka bisa memiliki, ini akan lebih riil,” tandasnya.
Widodo pun berharap nantinya ada lapangan kerja yang besar, produksi susu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, jumlah peternak meningkat, serta mewujudkan transformasi industri tangguh dan berdampak pada transformasi konsumsi susu nasional.
“Landscape impor sapi seperti ini jauh lebih baik agar tidak sampai mematikan produsen susu dalam negeri karena harganya mayoritas sedikit lebih mahal daripada impor, walaupun secara praktis-ekonomis memang lebih cepat impor susu,”terangnya.
Perlu juga alternatif budidaya sapi yang lebih adaptif dengan kondisi suhu dan lingkungan untuk Pengembangan bibit sapi perah tropis. Ia menekankan inovasi dan hilirisasi produk susu untuk dapat memenuhi program minum susu gratis.
“Smart Dairy Farming juga disarankan dilakukan oleh korporasi karena suhu dan kelembaban kandang bisa dikontrol dengan memanfaatkan teknologi sensor sehingga sapi tidak stres dan produktivitasnya meningkat,” tutupnya.