Liputan6.com, Jakarta - Kapolda NTT Irjen Pol Daniel Tahi Monang Silitonga angkat bicara mengenai pemecatan Inspektur Dua Rudy Soik. Menurut Daniel, pelanggaran yang berat dan banyak membuat Rudy tidak layak dipertahankan sebagai anggota Polri.
Daniel mengatakan, sidang Komisi Kode Etik Polri merupakan sidang yang menyoroti aspek etika profesional seorang Polri. Para hakim etik yang memimpin terdiri dari perwira-perwira senior.
”Pasti menyoroti segala aspek, rekam jejak pelaksanaan tugas, sikap, perilaku, pelanggaran terhadap etika kepribadian, etika kenegaraan, etika kelembagaan, serta etika dalam hubungan dengan masyarakat,” kata Daniel.
Menurut Daniel, tidak gampang memberhentikan dengan tidak hormat atau memecat seorang anggota Polri.
”Tetapi kalau sampai sidang Komisi Kode Etik Polri memberhentikan seorang, itu berarti etika dan profesi sebagai Polri sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan,” ujar Daniel.
Ipda Rudy Soik dipecat dalam sidang Komisi Kode Etik Polri yang berlangsung di Polda NTT pada Jumat (11/10/2024). Sidang dipimpin Komisaris Besar Robert Antoni Sormin dengan wakil Komisaris Yan Kristian Ratu serta anggota Komisaris Nicodemus Ndoloe.
Dikatakan, Rudy melanggar kode etik profesi Polri berupa ketidakprofesionalan dalam penyelidikan dugaan penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Bentuknya berupa pemasangan garis polisi di lokasi milik Ahmad Anshar dan Algajali Munandar di Kota Kupang.
Simak Video Pilihan Ini:
Detik-Detik Kilang Pertamina Cilacap Kembali Terbakar, Diduga Tersambar Petir
Pernah Digerebek di Ruang Karoke
Sebelum sidang kode etik itu, Rudy diperhadapkan beberapa masalah. Kabid Humas Polda NTT Kombes Ariasandy mengatakan, Rudy digerebek di tempat hiburan.
”Kami punya bukti dan dia (Rudy Soik) mengakui adanya video itu dalam persidangan terkait pelanggaran disiplin,” kata Ariasandy.
Dalam room karaoke itu terdapat empat orang. Mereka adalah Rudy, Kasat Reskrim Polresta Kupang Kota AKP Yohanes Suhardi, dua polwan yang bertugas di Polda NTT, yakni Ipda Lusiana Lado dan Brigpol Jean E Reke.
Menurut Ariasandy, atas bukti video dan pengakuan itulah, Rudy dijatuhi hukuman berupa penempatan khusus selama 14 hari dan demosi ke luar Polda NTT selama 3 tahun. Rudy kemudian mengajukan banding tetapi ditolak dan malah ditambah lagi demosi menjadi 5 tahun.
Sementara terkait putusan sidang etik yang memecat Rudy, kata Ariasandy, Rudy memasang garis polisi di lokasi yang tak ada barang bukti BBM bersubsidi. Pemilik barang bukti itu juga membantah telah memberikan sejumlah uang kepada polisi.
"Kami punya bukti dan dia mengakui adanya video itu dalam persidangan terkait pelanggaran disiplin," jelasnya.
Di luar dua kasus di atas, Rudy juga dilaporkan dalam banyak kasus lagi, antara lain memfitnah atasan, melakukan pungutan liar, melakukan penganiayaan, menurunkan citra Polri, meninggalkan tempat tugas keluar wilayah hukum Polda NTT tanpa izin, dan mangkir dari dinas selama tiga hari secara berturut-turut.
”Semua itu sudah ada sanksinya,” ujar Arya.
Ia menambahkan, jika dalam setahun terjadi tiga kali pelanggaran disiplin, seorang anggota Polri bisa dibawa ke komisi etik yang berujung pada pemecatan. Dalam sidang, Rudy dinilai berbelit-belit dan tidak kooperatif. Rudy meninggalkan ruang sidang ketika pembacaan putusan oleh majelis etik.
Rudi Membantah
Rudy meyakini, segala tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya tidak lepas dari penyelidikan yang ia lakukan mengenai mafia BBM bersubsidi di NTT. Mafia itu melibatkan sejumlah pihak, termasuk anggota Polri yang bertugas di Polda NTT.
Jaringannya dalam beberapa tingkatan. Ada orang-orang yang mendapatkan banyak barcode dari oknum pemerintah untuk membeli BBM bersubsidi. Ini disebut tim pengepul. BBM dimaksud kemudian dibawa ke tempat penimbunan yang dikuasai beberapa orang.
Selanjutnya, BBM bersubsidi itu dijual ke industri, juga untuk berbagai proyek infrastruktur. Bahkan, BBM bersubsidi itu diselundupkan hingga ke negara tetangga, Timor Leste. ”Dalam distribusi, barang ilegal ini dikawal oleh oknum polisi,” kata Rudy.
Berangkat dari informasi lapangan itu, pada 15 Juni 2024, Rudy mendapat perintah penyelidikan. Pada hari itu, tim menangkap salah satu pelaku penimbunan bernama Ahmad di kawasan Alak, Kota Kupang. Dari hasil penyidikan diketahui ada oknum polisi yang mendapat setoran Rp 30 juta.
Rudy juga secara terang-terangan menyebut polisi yang bertugas di Direktorat Kriminal Khusus Polda NTT dan Direktorat Sabhara Polda NTT terlibat. Ada juga di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT.
”Mafia BBM itu ada di mana-mana. Mereka berjejaring,” ujarnya.