Greceknya Desa Nade Bedaratan, Ncari Pengalaman Bejelan ye Bebede

2 weeks ago 15

Liputan6.com, Kutai Kartanegara - Pas dengan kehadiran Ibu Kota Nusantara, benyak wadeh menarik bemunculan di Kalimantan Timur. Diantaranya desa Muara Enggelam ye ade di Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Nade ye beda desa ni ngan desa-desa ye lain di Indonesia. Keadean penduduk disertai pemerintahan desa, sama maha dengan yang lain.

Kira-kira apa ye beda desa ni dengan desa ye lainnya? Desa ni rancak di sabut nade bisi daratan karna ade di pinggir Kenohan Melintang.

Keadaan kampung tegak ni sebujurnya benyak di wilayah Indonesia ye hidup di atas ranam. Bedenya, didesa nginni, wargenya bujur-bujur hidup diatas ranam, pakai rumah trapung. Sida ngiaunya rakit.

Walau sebegian pore warge deh mulai molah rumah betajek ke tanah, tapi cara hidup di rumah terapung belum ditinggelkan. Aktivitas warge maseh benyak makai gubeng dengan ketinting untuk pegi ke mana-mana.

Jedi nade heran jika desa ni wargenya hilir mudik nade pakai honde, tapi gubeng halus dg mesin ketinting di belekangnya. Dan nade deket ge ye lain hya beolah maha pakai gubeng bila handek pegi breyakan ke odeh tetangge.

“Etam labeh cappat mun handek ke mana-mana dari rumah rakit. Karna gubeng langsung ade hadepan rumah trapung/rakit, jadi tenggel ngalak mha lagi, lalu jelan kemana etam handek nujju,” ujje Busu Ramsyah, salah satu tokoh masyarakat Desa Muara Enggelam, Rabu (16/10/2024).

Apa sabbeb warge tattap nahankan rumah rakit? Karna side hidup sesuai dg keadean di pinggir kenohan melintang. Kenohan ni kadeng tuhur kadeng naik tergentung keadean atau musim atau cuaca.

Amun musim ranam naik, maka ranam kenohan umpat naik. Amun ranam tuhur maka ranam kenohan pun umpat tuhur.

Bila musim ranam kenohan tuhur, benyak warge jadi petani dedekan dengan nanam padi di kenohan.

“Amun saat ranam naik, rumah rakit warge, umpat ge naik. Tapi begi ye berumah betajek terpaksa terandem atau kebanjiran. Makanya rumah rakit tattap di pertahankan warge untuk antisipasi ranam naik, atau banjir pore,” ujje Busu Ramsyah ge.

Rakit Begoyak Bile Gubeng Lalu

Bakri menikmati puhun sirap di rakit salah seorang warge. Jurnalis dari kota samarinde ngia senghaje detang kedesa nginni inde lain untuk merasakan pengalaman ye bebede didesa nade bederatan.

"Meranggot di jebe, menikamati puhun merian, dikawani kopi, di rakit ye ngapung. Cuma di desa muara enggelam etam depat menikmatinya," ujje Bakri.

Bakri merasakan suasana itu sambil bekesahan dengan urang ye berempu rakit, yaitu seorang guru agema disekolah Dasar Negeri satu-satunya didesa ngia. Namanya Taufiq Hidayat.

Suasana ye paling ditunggu Bakri waktu merengot hadepan rakit iyye melihati urang kehulu kehilir pakai gubeng. Gubeng dengan mesin ketinting bile lalu pasti be umbek halus.

"Tiapan kali ade gubeng lalu, rakit ye ondokkinya ngia begoyak ge," ujenya.

Bile handek mutari desa pasti hak etam harus makai gubeng ge. Sampai-sampai bile handek pegi belenje makanan kewarong gin etam harus makai gubeng. Warongnya gin timbul diranam.

Desa Muara enggelam dipolah pas di sungai Enggelam ye muaranya sungainya nujju ke kenohan melintang. Sampai-sampai pemukiman panjeng ngiringi kelokkan sungai.

Karna diem diatas lahan besah ekisistem kenohan, warge bujur-bujur hidup timbul atas ranam. Amun ranamnya tuhur pasti hak tuhur beneh, desar kenohan dan sungai tukan memang rawa, gembut, dengan lompor.

"Untuk nanam cabe di pot maha kami harus ngalak tanah didesa ye parak,” ujje Taufiq.

Desa Muara enggelam nade bissi kegiatan wisata taggek wisata urang wayahni. Tapi suasana desa sampai kegietan masyarakat nawarkan pengalaman bebede dan unik ye jerreh dibulihi di wadeh lain.

Berita ini menggunakan Bahasa Kutai, bahasa daerah di Kutai Kartanegara. Tulisan ini sebagai apresiasi Liputan6.com dalam memeringati Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Menghargai keberagaman bahasa, tetapi tetap menjunjung bahasa persatuan, Indonesia.

Indahnya Desa Tanpa Daratan, Merasakan Pengalaman Berbeda Sebuah Perjalanan

Seiring kehadiran Ibu Kota Nusantara, beragam tempat eksotis di Kalimantan Timur mulai bermunculan dan dikenal luas. Salah satunya Desa Muara Enggelam yang terletak di Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Tak ada yang berbeda dari desa ini dibanding desa-desa lainnya di Indonesia. Pemukiman penduduk disertai sistem pemerintaha desa yang umumnya ada di manapun.

Apa yang membedakan desa ini dari desa lainnya? Desa ini bisa disebut sebagai desa tanpa daratan karena hidup di atas perairan Danau Melintang.

Banyak pemukiman lain di berbagai wilayah di Indonesia yang juga hidup di atas perairan. Bedanya, di sini warganya hidup terapung.

Pemukiman warga dibangun terapung. Pondasi rumah bukan dari kayu, apalagi beton. Tetapi terbuat dari batang pohon berukuran besar.

Meski sebagian besar warga sudah mulai membangun rumah panggung, namun pola hidup di rumah terapung belum ditinggalkan. Mobilitas warga di rumah terapung lebih gesit ketimbang di rumah panggung.

Sebab, aktivitas warga lebih banyak menggunakan perahu bermesin tempel untuk bepergian ke manapun. Maka tak heran jika di desa ini yang hilir mudik bukan sepeda motor, namun perahu kecil dengan mesin di belakangnya. Tak sedikit pula yang mendayung untuk sekedar menghampiri tetangga.

“Kita lebih mudah ke mana-mana dari rumah terapung. Karena tinggal ke depan rumah, ambil perahu, lalu jalan ke manapun yang kita mau,” kata tokoh masyarakat Muara Enggelam, Ramsyah, Rabu (16/10/2024).

Mengapa warga tetap mempertahankan rumah terapung? Sebab mereka hidup di atas ekosistem Danau Melintang. Danau ini memiliki pasang surut air tergantung musim.

Pada musim tertentu, permukaan air danau bisa sangat tinggi. Pada musim kemarau, air danau bisa sangat surut hingga dasar sungai dijadikan lahan pertanian.

Saat air pasang tinggi, rumah panggung warga ikut terendam air. Mereka menyebut sebagai banjir besar. Namun dengan rumah terapung, mau setinggi apapun permukaan air, rumah akan tetap berada di atas air.

“Makanya rumah terapung tetap dipertahankan karena saat air pasang tinggi, warga masih punya tempat tinggal,” kata Ramsyah.

Rumah Terapung Bergoyang Saat Perahu Melintas

Bakri menikmati senja di rumah terapung milik salah seorang warga. Jurnalis dari Kota Samarinda itu sengaja datang ke desa ini untuk menikmati pengalaman berbeda di desa tanpa daratan.

“Duduk diteras, menikmati senja, ditemani kopi, di rumah terapung. Cuma di Desa Muara Enggelam kita bisa menikmatinya,” kata Bakri.

Bakri menikmati suasana itu sambil berbincang dengan pemilik rumah yakni seorang guru agama di Sekolah Dasar Negeri satu-satunya di desa itu. Namanya Taufiq Hidayat.

Momen paling ditunggu Bakri saat duduk di teras rumah adalah saat ada perahu melintas. Perahu dengan mesin tempel akan meninggalkan jejak ombak kecil.

“Setiap ada perahu lewat, rumahnya ikut bergoyang,” katanya.

Berkeliling desa tentu saja dengan menggunakan perahu juga. Bahkan untuk sekadar beli makanan ringan ke warung harus menggunakan perahu atau sampan. Warungnya pun terapung.

Desa Muara Enggelam dibangun di sepanjang aliran Sungai Enggelam yang bermuara ke Danau Melintang. Sehingga pemukiman memanjang mengikuti arah aliran sungai.

Karena hidup di atas lahan basah ekosistem danau, warga benar-benar hidup terapung. Kalaupun air surut sangat dangkal, dasar danau dan sungai berupa rawa, gambut, dan lumpur.

“Untuk menanam cabai di pot saja kami harus ambil tanah di desa tetangga,” kata Taufiq.

Desa Muara Enggelam memang tak memiliki atraksi wisata layaknya obyek wisata kekinian. Namun suasana desa hingga aktivitas masyarakat menawarkan pengalaman berbeda dan unik yang sulit didapatkan di tempat lain.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |