Liputan6.com, Jakarta - Krisis distribusi tenaga medis menjadi salah satu isu utama yang dihadapi Indonesia saat ini. Meski kebutuhan akan dokter, baik dokter umum maupun spesialis, sangat tinggi di daerah, fenomena yang terjadi justru menunjukkan kecenderungan yang berbeda.
Banyak dokter baru memilih untuk berpraktik di klinik kecantikan di perkotaan, meninggalkan masyarakat di daerah yang masih membutuhkan akses kesehatan dasar.
Menurut Dr. Gregory Budiman, pakar kesehatan dan praktisi medis, fenomena ini mencerminkan dilema generasi muda dalam menjalani profesi medis yang seharusnya berfokus pada kesehatan masyarakat.
“Indonesia kekurangan dokter yang terdistribusi merata. Di daerah, banyak masyarakat yang membutuhkan dokter untuk layanan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif, namun justru tenaga medis lebih banyak berkumpul di perkotaan. Ini tentu memengaruhi pemerataan layanan kesehatan,” kata Dr. Gregory.
Fenomena ini, lanjutnya, disebabkan oleh adanya peluang finansial yang lebih menggiurkan di bidang kecantikan. Sejumlah dokter muda merasa lebih nyaman berpraktik sebagai dokter kecantikan dibandingkan menangani pasien di puskesmas atau IGD (Instalasi Gawat Darurat). Perbedaan lingkungan pasien pun dianggap memengaruhi pilihan ini.
"Di klinik kecantikan, pasien umumnya adalah orang sehat yang ingin memperbaiki penampilan. Sementara itu, di IGD atau puskesmas, dokter harus berhadapan dengan kondisi pasien yang mungkin membutuhkan perhatian medis mendesak dan serius," ungkap Dr. Gregory.
Ia menambahkan, konsep kedokteran adalah membuat orang sakit menjadi sehat, sementara dunia kecantikan seringkali berfokus pada meningkatkan penampilan fisik orang yang sudah sehat.
Perbedaan tujuan ini menimbulkan dilema, terutama bagi generasi muda yang tergiur oleh prospek pendapatan dan lingkungan kerja yang lebih nyaman.
"Profesi dokter kecantikan ini bisa menyebabkan orang menjadi terobsesi dengan estetika dan bahkan berisiko mengalami gangguan seperti body dysmorphic disorder. Hal ini tentu bertentangan dengan esensi etika kedokteran, yang seharusnya memprioritaskan kesehatan masyarakat," tegas Dr. Gregory.
Dalam pandangan Dr. Gregory, sebenarnya tidak ada izin praktik resmi yang mengakui keberadaan dokter kecantikan di Indonesia. Yang ada hanyalah izin praktik dokter umum, yang berarti setiap dokter diharapkan dapat melayani masyarakat dalam semua aspek kesehatan.
Klinik pratama kecantikan juga dinilai kurang tepat dalam konteks layanan kesehatan primer, sebab klinik pratama seharusnya menyediakan layanan kesehatan dasar bagi masyarakat, bukan hanya layanan kecantikan untuk individu yang sehat dan berpenghasilan tinggi.
Fenomena ini juga memengaruhi dokter spesialis kulit dan kelamin yang lebih tertarik untuk berpraktik di klinik kecantikan, bahkan ada yang ikut menjual produk kosmetik.
"Keberadaan dokter spesialis kulit dan kelamin seharusnya berperan dalam menangani penyakit kulit dan kelamin, bukan hanya fokus pada estetika. Ketika mereka terjun ke dunia kecantikan, ini merendahkan derajat profesi yang mereka emban,” ujar Dr. Gregory dengan tegas.
Dr. Gregory menyimpulkan bahwa prinsip ilmu kedokteran adalah menyehatkan masyarakat, bukan sekadar mempercantik. “Dokter perlu kembali pada esensi profesi mereka, yaitu melayani kesehatan masyarakat secara luas. Hanya dengan itu kita bisa menjawab kebutuhan mendasar kesehatan di Indonesia,” pungkasnya.
Dengan dorongan dari praktisi seperti Dr. Gregory Budiman, harapannya adalah agar profesi kedokteran di Indonesia dapat kembali fokus pada kesehatan masyarakat yang sesungguhnya.
Tantangan pemerataan tenaga medis ini memerlukan kesadaran semua pihak, termasuk dokter muda, agar layanan kesehatan di Indonesia dapat diakses merata dan optimal bagi seluruh lapisan masyarakat.