Liputan6.com, Bandung - Pemerintah Indonesia khususnya Bank Indonesia (BI) terus melanjutkan perluasan sistem pembayaran ke negara-negara lain melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).
Perluasan tersebut dilakukan meskipun sempat mendapatkan protes atau komplain dari Amerika Serikat (AS) di tengah ramainya persoalan tarif Trump. Adapun perluasan QRIS dilakukan hingga ke sejumlah negara mulai dari Jepang, China, hingga Arab Saudi.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Filianingsih Hendarta menyampaikan dalam konferensi pers bahwa saat ini QRIS antarnegara telah berjalan di beberapa negara seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura.
“QRIS antarnegara terus meningkat. Negara mana saja yang saat ini sudah bisa? Singapura, Malaysia, dan Thailand, dalam waktu dekat yang sudah antre, kita segera dengan Jepang, India, Korea Selatan, dan mungkin China dan Arab Saudi,” ucapnya pada Rabu (23/4/2025).
Pihaknya menjelaskan bahwa sistem pembayaran melalui Kode QR membuat pembayaran bisa jadi lebih efisien di semua lapisan masyarakat karena selain mendukung interkoneksi juga interoperabilitas dari sistem pembayaran tersebut baik di domestik dan internasional.
Fili juga menuturkan hingga kuartal I/2025 jumlah pengguna QRIS secara umum mencapai 56,3 juta dengan volume transaksi mencapai 2,6 miliar. Sementara nominal transaksi telah mencapai Rp 252,1 triliun dengan dukungan jumlah merchant yang mencapai 38,1 juta.
Pertumbuhan yang Meningkat
Adapun transaksi digital melalui QRIS selama periode Ramadan serta Idul Fitri 2024 juga cukup meningkat dengan rata-rata pertumbuhan volume transaksi per pengguna mencapai 111% YoY lebih tinggi dibandingkan periode tahun lalu sebesar 76 persen.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menjelaskan pada kesempatan yang sama bahwa pada dasarnya QRIS merupakan pengembangan dari Standard Global Europay, MasterCard, Visa (EMV).
“Kemudian kita tambahkan coding-coding untuk bahasa Indonesia standar nasional. Itulah bahasa standar QR yang berlaku di Indonesia. Mengadopsi standar global yang juga ditempuh oleh sejumlah negara dan berlaku QRIS,” ucapanya.
Perry juga mengungkapkan bahwa sistem yang meluncur pada 17 Agustus 2019 atau tepat di HUT ke-74 Republik Indonesia itu dibangun bersama dengan Industri Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI).
Kemudian pada implementasinya QRIS dibentuk dengan pedoman-pedoman yang dikeluarkan oleh Indonesia menjadi kesempatan nasional sesuai kepentingan nasional dan menegaskan QRIS sangat mendukung untuk inklusi dari masyarakat Indonesia.
“Terima kasih seluruh asosiasi perbankan, perusahaan jasa dan terutama masyarakat yang sangat mendapatkan manfaat dari QR Indonesian Standard (QRIS). Terima kasih rekan Kementerian lembaga dan masyarakat yang mendukung penuh QRIS antarnegara,” ujarnya.
QRIS Dikritik Amerika Serikat
Belakangan ini QRIS mendapatkan protes dari AS karena dianggap membatasi ruang gerak perusahaan asing. Kemudian pemerintah AS menyoroti kebijakan Indonesia yang mewajibkan penggunaan standar nasional seperti QRIS untuk semua transaksi QR Code.
Adapun kritikan tersebut diberikan terhadap QRIS dan GPN dalam negosiasi tarif resiprokal yang sedang berlangsung antara kedua negara. AS merasa tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan soal dampaknya terhadap sistem pembayaran global.
Selain itu, kekhawatiran juga datang dari amanat Bank Indonesia yang mewajibkan kartu kredit pemerintah diproses lewat GPN. Hal tersebut turut dianggap membatasi akses perusahaan pembayaran AS terhadap sistem pembayaran elektronik di Indonesia.
Kemudian kebijakan tersebut dinilai mengurangi pilihan teknologi asing dalam sistem keuangan pemerintah Indonesia. AS juga menilai proses perumusan aturan tersebut kurang melibatkan pemangku kepentingan internasional.
Perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat juga khawatir tidak diajak berdiskusi sebelum kebijakan dibuat. Selain itu, mereka ingin sistem seperti QRIS bisa dirancang agar tetap bisa terhubung dengan sistem pembayaran dari luar negeri.