Harga Pakan Mahal, Tingkat Konsumsi Ikan di Jabar Rendah

1 day ago 14

Liputan6.com, Sukabumi - Mahalnya harga pakan ikan yang sebagian besar masih bergantung pada impor menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat konsumsi ikan di Jawa Barat. Hal ini diungkapkan oleh Yoyon Supriadi, Kepala Pusat Pengembangan Bisnis dan Manajemen Institut Bisnis dan Informatika Kesatuan Bogor.

Yoyon menjelaskan bahwa sekitar 89 persen pakan ikan di Indonesia masih diimpor. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing semakin memperparah kondisi ini, membuat biaya produksi budidaya ikan meningkat signifikan sementara harga jual ikan sulit dinaikkan. 

"Dengan kondisi ini, keuntungan peternak ikan semakin menipis, bahkan bisa merugi jika dijual dengan harga murah," ujar saat menghadiri kegiatan di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, dikutip Kamis (24/4/2025).

Untuk mengatasi masalah ini, Institut Bisnis dan Informatika Kesatuan Bogor berfokus pada pemberdayaan wirausahawan muda di bidang budidaya ikan nila melalui pelatihan manajemen, pemasaran, keuangan, dan akuntansi. 

"Kami ingin membantu mengubah pandangan bahwa bisnis ikan tidak menguntungkan menjadi bisnis yang menjanjikan," kata Yoyon. 

Pihaknya juga berharap dapat berkontribusi pada program makan bergizi gratis (MBG) pemerintah melalui peningkatan produksi ikan. Dirinya juga menyoroti perlunya pengembangan alternatif pakan ikan dari dalam negeri untuk menekan biaya produksi. 

Meskipun potensi bahan baku lokal seperti ikan rucah untuk tepung ikan melimpah, keterbatasan teknologi produksi skala besar menjadi kendala. 

"Bukan masalah kualitas pakan lokal, tetapi kapasitas produksi kita yang belum memadai," jelasnya.

Tingkat Konsumsi Ikan di Jabar di Bawah Rata-Rata Tingkat Nasional

Senada dengan hal tersebut, Ahman Kurniawan, Kepala UPTD Pelabuhan Perikanan Muara Ciasem DKP Provinsi Jawa Barat, mengungkapkan bahwa tingkat konsumsi ikan di Jawa Barat masih relatif rendah, yaitu sekitar 32 kilogram per kapita per tahun, di bawah rata-rata nasional. 

Pihaknya menargetkan peningkatan konsumsi menjadi 40-45 persen melalui berbagai program. Ahman juga menyoroti peran alumni Institut Bisnis dan Informatika Kesatuan Bogor yang sebagian besar merupakan pelaku usaha perikanan. 

"Pengalaman mereka, terutama yang sudah sukses menjadi pengusaha benih ikan dan mesin pencetak pelet, sangat berharga untuk kita kembangkan bersama dinas kabupaten," ujarnya. 

Pengembangan mesin pakan sederhana skala rumah tangga diharapkan dapat membantu menekan biaya produksi pakan. Untuk menekan harga jual ikan, Ahman menekankan pentingnya efisiensi biaya produksi melalui teknologi budidaya yang baik, pengelolaan kualitas air dan pakan yang tepat, serta pemanfaatan sumber protein alternatif yang lebih murah namun tetap berkualitas. 

Pengembangan teknologi bioflok juga menjadi salah satu upaya yang dilakukan. Selain itu, stabilitas pasar juga menjadi perhatian agar fluktuasi harga tidak merugikan peternak.

Terkait tingginya impor, Ahman mengklarifikasi bahwa yang diimpor sebagian besar adalah bahan baku pakan, bukan pakan jadi. 

Ia menekankan perlunya kerjasama dengan instansi terkait seperti dinas perindustrian dan perdagangan untuk mengembangkan produksi bahan baku pakan lokal dan mengurangi ketergantungan pada impor.

“Pada prinsipnya yang diimpor dari luar negeri itu adalah bahan bakunya bukan pakan jadi. Bahan bakunya umpama dalam bentuk tepung ikan atau tepung kedelai atau apa, yang sebenarnya itu bisa kita produksi sendiri sumber daya ikan kita di laut, ikan rucah yang bisa dijadikan tepung ikan itu sangat melimpah,” ungkapnya.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |