Rencana Relokasi Warga Terdampak Letusan Gunung Lewotobi Laki-Laki di Flores Timur, Realisasinya?

1 month ago 38

Liputan6.com, Flores Timur - Minggu malam, 3 November 2024, menjadi hari yang kelam bagi warga yang bermukim di kaki Gunung Lewotobi, Kabupaten Flores Timur, NTT. Di tengah gelap gulita karena listrik mati, tiba-tiba bebatuan panas menghujam permukiman mereka. Rumah-rumah hancur dan terbakar, sementara kilat dan guntur terus terdengar bersahutan di puncak Gunung Lewotobi. Mereka bingung hendak lari kemana, setiap bapak merangkuli anaknya, setiap ibu merapal doa, apa yang terjadi? karena memang tidak ada tanda-tanda peringatan apa-apa sebelumnya.

Keeesokan harinya, kehancuran akibat amuk murka Lewotobi tampak nyata. Desa Hokeng Jaya yang ada di Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, menjadi wilayah yang terdampak paling parah akibat erupsi. Tim SAR kemudian merilis kabar, secara keseluruhan tercatat 10 orang meninggal dunia akibat peristiwa itu. Tak cuma itu, ratusan rumah dan fasilitas umum termasuk sekolah hancur berantakan, bahkan ada yang sampai terbakar. Ribuan orang mengungsi, kehidupan ekonomi terhenti, dan sekolah diliburkan. 

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi langsung menaikan status Gunung Lewotobi Laki-Laki menjadi Awas (Level IV), terhitung mulai 3 November 2024, pukul 24.00 WIT. Artinya, gunung kembar yang ada di Flores Timur itu sedang dalam puncak aktivitas vulkanik, sehingga radius bahaya perlu diperluas untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak. Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) langsung fokus dalam penanganan pengungsi, baik yang mengungsi secara mandiri, maupun yang sudah dibentuk melalui koordinasi. 

Sehari usai erupsi mematikan itu, tepatnya pada 4 November 2024, Pemerintah Kabupaten Flores Timur, NTT, menetapkan status tanggap darurat bencana alam erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki. Status penetapan ini berdasarkan surat keputusan Bupati Flores Timur, yang ditandatangani oleh pejabat Bupati Flores Timur, Sulastri Rasyid. Status tanggap darurat bencana alam ini ditetapkan selama 58 hari terhitung sejak 4 November 2024 sampai 31 Desember 2024. 

Status tanggap bencana merupakan keadaan ketika ancaman bencana sudah terjadi dan mengganggu kehidupan masyarakat. Status ini ditetapkan oleh pemerintah untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan rekomendasi lembaga yang bertugas menanggulangi bencana. Pada saat status tanggap bencana diberlakukan, upaya penanganan yang dilakukan terfokus pada penyelamatan dan evakuasi korban dan pengungsi, pemenuhan kebutuhan dasar korban dan pengungsi, perlindungan kelompok rentan, pengendalian sumber ancaman bencana, perbaikan prasarana dan sarana vital.

Dua minggu berselang usai erupsi yang memakan banyak korban jiwa pada Minggu malam, 3 November 2024, Gunung Lewotobi Laki-Laki masih terus erupsi. Data terbaru yang diakses tim Liputan6.com menunjukkan, berdasarkan laporan PVMBG, menurut hasil pengamatan Senin (18/11/2024), periode pukul 00.00-12.00 WIT, Gunung Lewotobi Laki-Laki tercatat mengalami 14 kali gempa hembusan dengan amplitudo 5.9-29.6 mm, dan lama gempa 15-75 detik, lalu 6 kali Harmonik dengan amplitudo 7.4-14.8 mm, dan lama gempa 192-466 detik, serta 2 kali Tremor Non-Harmonik dengan amplitudo 5.9-16.2 mm, dan lama gempa 144-594 detik.

Dalam periode pengamatan itu, Gunung Lewotobi Laki-Laki mengalami 1 kali gempa Vulkanik Dangkal dengan amplitudo 22.2 mm, dan lama gempa 5 detik, lalu 1 kali gempa Tektonik Jauh dengan amplitudo 14.8 mm, S-P 24.7 detik dan lama gempa 108 detik, serta 1 kali gempa Tremor Menerus dengan amplitudo 1.4-14.8 mm, dominan 1.4 mm. Dalam kondisi itu, status Gunung Lewotobi Laki-Laki masih dipertahankan pada status Awas (Level IV). Jumlah pengungsi pun terus bertambah, meski fluktuatif, angkanya sudah mencapai belasan ribu orang yang tersebar di beberapa titik pengungsian, baik di Kabupaten Flores Timur, maupun di Kabupaten Sikka. 

Di tengah masyarakat yang masih dilanda hujan abu, muncul rencana relokasi masyarakat yang terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki. Sebanyak enam desa terdampak di Kabupaten Flores Timur, masuk rencana relokasi yang akan dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Lalu sejauh apa urgensinya, mengapa relokasi warga terdampak terkesan mendadak dan terburu-buru?

Wacana Relokasi dan Potensi Konflik

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, ada enam desa terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki yang warganya bakal direlokasi. Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB Jarwansyah dalam keterangan di Jakarta, Minggu (17/11/2024) mengatakan, keenam desa yang direkomendasikan untuk direlokasi antara lain Desa Klatanlo, Desa Hokeng Jaya, Desa Boru, Desa Nawakote (Kecamatan Wulanggitang), Desa Nobo (Kecamatan Ile Boleng) dan Desa Dulipali (Kecamatan Ile Bura). Sementara jumlah warga dari keenam desa tersebut tercatat dalam Data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Flores Timur ada sebanyak 2.209 keluarga.

"Keenam desa direlokasi karena berada di bawah kaki Gunung Lewotobi Laki-Laki atau dalam radius sekitar 4-5 kilometer dari puncak erupsi," katanya.

Jarwansyah mengatakan, rekomendasi yang diberikan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) zona aman Gunung Lewotobi Laki-Laki berada enam kilometer dari puncak. Maka rumah warga yang berada di dalam radius bahaya 4-5 kilometer akan direlokasi.

Jarwansyah yang mendatangi satu-persatu pos pengungsian di Flores Timur itu meminta, semua kepala desa dari keenam desa tersebut untuk meyosialisasikan rencana relokasi yang sudah dijelaskan secara tertulis dalam formulir persetuan untuk dipindahakan, terutama kepada warganya yang saat ini sedang mengungsi mandiri di luar pos pengungsian

"Jika warga tidak hafal Nomor Induk Kependudukan dan nomor KK maka tulis nama sesuai KTP dan nantinya akan kami cek di Dukcapil," katanya.

Pada sosialisasi tersebut petugas BNPB juga membuka kesempatan kepada kepala desa dan warganya untuk memberikan rekomendasi permukiman baru mereka nantinya mau dipindahkan kemana.

Hal ini dilakukan karena menurutnya, ada dua opsi yang diberikan antara lain relokasi terpusat dengan lahan dan rumah disiapkan oleh pemerintah atau relokasi mandiri dengan warga dibangunkan rumah oleh pemerintah di lahan miliknya. Tipe rumah yang akan dibangun merupakan rumah tahan gempa RISHA tipe-36 dengan luas lahan per rumah 90 meter persegi.

BNPB memastikan pemilihan lokasi relokasi mempertimbangkan kemudahan akses warga untuk bisa kembali mengolah aset-aset pertanian atau peternakannya di tempat yang lama. ​​​​​​

Hanya saja ia mengakui bahwa kelayakan lokasi serta adanya konflik sosial terkait tanah ulayat warga di wilayah Flores Timur masih menjadi tantangan dalam pencarian lahan ini. Jawarsyah menegaskan, pihaknya juga telah memiliki daftar rumah warga yang rusak untuk dibantu pembangunan menggunakan dana stimulan yang masing-masing tersebar di Desa Pululera, Borukedang, dan Boru.

Skema dana stimulan untuk perbaikan rumah rusak antara lain sebesar Rp60 juta untuk rumah rusak berat, Rp30 juta untuk rumah rusak sedang, dan Rp15 juta untuk rusak ringan. BNPB menekankan bahwa dana stimulan ini hanya diperuntukkan untuk pembangunan rumah dengan prosedur yang bertahap dan uang itu hanya boleh untuk membangun rumah, tidak boleh untuk beli motor, mobil, atau yang lainnya.

Sementara itu, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait atau yang akrab disapa Bang Ara memastikan, pembangunan rumah relokasi harus melibatkan warga korban bencana yang akan menjadi calon penghuninya.

"Selain dari hasil pendataan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk warga korban bencana yang akan direlokasi, juga harus ada dialog dengan warga calon penghuninya agar tepat sasaran. Jangan sampai ada kejadian rumah yang sudah dibangun tidak dihuni," kata Ara.

Hal itu bertujuan untuk memastikan rumah yang telah dibangun akan tepat sasaran dihuni oleh korban bencana. Agar konstruksi dapat segera terlaksana, Ara meminta pendataan segera dilakukan sehingga ada kepastian titik dan jumlah rumah yang akan dibangun.

"Selain itu, juga segera disiapkan estimasi biaya pembangunan rumahnya beserta isinya. Pastikan juga stok bahan pembangunan rumahnya sudah siap, untuk besok kita laporkan saat rapat bersama Wakil Presiden," ujar Ara.

Ara juga menyebutkan, pihaknya telah melakukan survei di dua titik lokasi untuk relokasi warga terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki. Survei dilakukan secara komprehensif bersama pemerintah daerah, Pemerintah Provinsi NTT, Kementerian Perumahan dan Permukiman, Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

"Kami mendapatkan arahan dari pak presiden dan pak wapres untuk memakai pola dialog, apakah pengungsi di sini dan anak-anaknya mau pindah atau tidak, jawabannya dari dua titik mau pindah ibu-ibu jawabannya mau pindah bapak-bapak mau pindah, alasannya karena mereka sudah trauma karena beberapa tahun lalu sudah mengalami hal yang sama dan ada korban jiwa," katanya.

Ara juga mengklaim, dalam hal ini pemerintah, sangat memperhatikan soal adat istiadat saat proses relokasi. "Kami juga perhatikan karena punya pengalaman masalah adat di sini cukup sensitif jadi kami sangat menghargai soal adat," katanya.

Hasil Pendataan Sementara

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto mengatakan, dari hasil pendataan sementara ada sekitar 2.700 unit rumah yang perlu dibangun untuk warga korban bencana yang akan direlokasi.

Hingga saat ini bersama TNI/Polri dan pemda masih melakukan pendataan jumlah kerusakan yang terjadi di lapangan.

"Sudah ada dua lahan rencana untuk relokasi yakni di Lakangkledang Wilayah Ulayat Desa Nobo Desa Konga (50 hektare) dan Kramak Kobasoma Desa Kobasoma (50 hektare)," ujar Letjen TNI Suharyanto.

kondisi Gunung Lewotobi Laki-Laki, kata Suharyanto, hingga saat ini masih erupsi dan masyarakat juga menyadari tidak dapat kembali ke desa asal karena terdampak. Pendataan telah dilakukan dan sebanyak delapan desa di daerah itu terdampak erupsi dengan jumlah rumah sebanyak 2.905 unit.

"Ribuan rumah ini masih didata, apakah direlokasi semua atau ada yang relokasi mandiri, tadi pak menteri sudah menyampaikan dua titik itu, ini tentu saja ada pengalaman dan kami dialog dengan masyarakat mana yang mau ke titik itu atau mereka punya titik-titik lain dekat keluarganya," katanya.

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Hadi Wijaya menilai kedua titik lokasi untuk rencana relokasi warga itu aman dari dampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki.

"Kami ikut dalam survei di dua lokasi, dari aspek keamanan untuk gunung api karena jaraknya 15 kilometer aman, lalu yang kedua radius 10 kilometer jadi masih aman dalam radius bahaya, lalu dari gerakan tanah longsor aman," katanya.

Sedan Dirjen Perumahan Iwan Suprijanto mengatakan, untuk pembangunan rumah bagi korban bencana saat ini sudah tersedia teknologi Rumah Instan Sederhana Sehat (risha) dan Rumah Sistem Panel Instan (ruspin) yang sudah terbukti cepat dan tangguh.

"Kami sudah mempunyai stok di katalog pengadaan barang dan jasa dan semuanya merupakan UMKM. Kita sudah siapkan rencana pembangunannya, jika semua data sudah selesai divalidasi maka sudah bisa mulai konstruksi pertengahan Desember 2024 dan target selesai pada April 2025," ujar Iwan.

Klaim Dapat Persetujuan Adat

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengungkapkan lahan untuk pemukiman korban bencana erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan tanah ulayat dan sudah disetujui oleh suku adat.

"Itu tanah ulayat, punya adat dan suku adatnya sudah setuju," ujar Nusron di Jakarta, Kamis.

Tugas Kementerian ATR/BPN, lanjutnya, menyiapkan lahan dan memastikan lahan untuk pemukiman korban bencana erupsi Gunung Lewotobi tersebut berstatus clean and clear.

"Tugas kita hanya menyiapkan lahan dan memastikan lahannya clean and clear, karena mau dibangun untuk pemukiman untuk mengganti rumah penduduk yang terkena dampak," katanya.

Menurut Nusron, pemukiman untuk penduduk yang terkena dampak bencana erupsi Gunung Lewotobi tersebut akan dibangun oleh Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman.

"Kita menyiapkan lahan, lahannya harus clean and clear," katanya.

Sebagai informasi, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menyiapkan 50 hektare tanah untuk relokasi korban bencana Letusan Gunung Lewotobi Laki-Laki, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kewenangan Kementerian ATR/BPN adalah untuk memastikan ketersediaan tanah untuk relokasi korban bencana.

Untuk mempercepat proses penanggulangan bencana erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Nusron dalam waktu dekat akan melakukan verifikasi ulang terhadap tanah yang rencananya digunakan untuk relokasi.

Kata Wapres Gibran

Demi meredam potensi konflik yang mungkin saja terjadi saat proses relokasi warga terdampak Gunung Lewotobi Laki-Laki, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menekankan pentingnya dialog bersama warga sebelum memutuskan relokasi.

"Proses relokasi yang nanti masih harus disurvei di beberapa tempat, pastikan dalam menentukan titik lokasi yang baru ini untuk lebih dulu berdialog dengan warga," katanya saat rapat koordinasi usai melakukan kunjungan di Posko Pengungsian Kobasama di Desa Kobasoma, Kecamatan Titehena, Kamis lalu.

Gibran menyampaikan hal tersebut menyikapi rencana Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman yang melakukan survei lokasi untuk relokasi warga terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki. Ia menambahkan, dialog sangat diperlukan sehingga infrastruktur yang nantinya dibangun dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

"Jadi jangan sampai nanti sudah dibangun tapi tempatnya tidak ditinggali, pastikan juga nanti dari pemangku wilayah, pak gubernur, ibu bupati, pastikan fasum (fasilitas umum) sudah siap," ungkapnya.

Gibran juga menekankan kemudahan administrasi dan birokrasi guna membantu masyarakat terdampak bencana alam sesegera mungkin.

"Bapak, ibu warga yang ada di pengungsian ini sudah dalam keadaan sulit, birokrasinya jangan dipersulit lagi dengan proses-proses asesmen yang berbelit-belit. Kita pingin yang cepat, kita ingin sekali lagi memprioritaskan warga-warga yang kesusahan di sini," tegasnya.

Ada Penolakan

Pantauan terkini awak tim Regional Liputan6.com di lapangan menemukan fakta, ada dua lokasi relokasi warga terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki di Kabupaten Flores Timur yang kini dibatalkan pemerintah pusat.

Pembatalan ini setelah dua lokasi relokasi di sekitar Desa Kobasoma, Kecamatan Titehena, ini berpotensi menuai konflik karena proses pengusulan oleh Pemda Flores Timur terkesan gegabah atau terburu-buru, tanpa dialog dengan para tokoh masyarakat.

Penjabat Bupati Flores Timur, Sulastri Rasyid, mengaku sampai saat ini belum menemukan lokasi yang tepat usai lokasi awal dibatalkan pemerintah pusat.

"Pekerjaan ini tidak segampang membalikkan telapak tangan. Dalam tempo yang singkat, kita disuruh cari tanah. Memang, dua lokasi awal itu sudah tidak jadi, yang sempat survei dengan Pak Menteri," ujarnya, Senin (18/11/2024).

Mengingat sudah batal, pemda kemudian melirik tempat lain yang disebutnya di sekitar wilayah Desa Lewolaga, Kecamatan Titehena. Meski demikian, di lokasi baru itu juga belum ada pendekatan ataupun dialog dengan tuan tanah bersama tokoh masyarakatnya.

"Itu juga belum fix. Belum ketemu dengan tuan tanah, tapi dari pihak kementerian sudah setuju. Dari segi teknis, semuanya masuk," ungkapnya.

Sulastri menjelaskan, selain tempat yang disediakan pemerintah, warga juga bisa mengusulkan lokasinya sendiri, namun harus berada di zona aman, yaitu 8 kilometer dari pusat erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki.

"Yang paling utama, sekarang kita mau relokasi duluan yang mau mandiri. Pengungsi yang punya tanah di luar radius 7 kilometer, kita siap bangun," ungkapnya.

Seperti diketahui, Kabupaten Flores merupakan salah satu daerah di Indonesia rawan konflik lahan. Konflik lahan kerap berujung perang tanding antarkampung. Seperti yang belum lama ini terjadi di Desa Bugalima, puluhan rumah di desa tersebut dibakar warga dari Desa Ilepati yang mengklaim sebagai pemilih sah tanah ulayat.

Seperti yang diberitakan Liputan6.com, perang tanding antarkampung kembali terjadi di Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT, Senin pagi, 21 Oktober 2024. Konflik berdarah itu melibatkan warga Desa Ilepati dan Bugalima, Kecamatan Adonara Barat, Pulau Adonara.

Kapolres Flores Timur, AKBP I Nyoman Putra Sandita mengatakan perang tanding itu menyebabkan 51 rumah milik warga desa Bugalima ludes terbakar.

Selain rumah, empat warga Desa Bugalima juga mengalami luka tembak dan satu lainnya tewas. Keempat warga yang terkena tembakan, antara lain AF (56) AP (189, MS (37), dan DO (26). "Ada empat orang luka tembak senapan angin dan satu warga tewas karena terbakar," ujarnya.

"Warga yang tewas berinisial SI (70). Dia (korban) selama ini sakit stroke. Terbakar bersama rumahnya," ungkap Nyoman Putra.

Nyoman Putra menjelaskan, perang tanding yang sampai memakan korban jiwa itu dipicu konflik tanah adat yang sudah berlangsung sejak 1970. Meskipun pernah dilakukan mediasi oleh Forkopimda Kabupaten Flores Timur pada tahun 1990-an, namun kesepakatan mengenai batas tanah yang disengketakan belum juga tercapai.

Terakhir, pada Juli 2024, setelah pengukuran oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), ketidakpuasan masyarakat tetap ada hingga terjadi perang tanding antarkedua desa. Peristiwa ini seharusnya jadi pelajaran berharga sebagai warning bagi pemerintah pusat sebelum memutuskan untuk melakukan relokasi. 

Kata Pengamat

Meski masih ada penolakan dari warga, namun pemerintah pusat tetap melanjutkan proses relokasi masyarakat yang terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki. Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Muruarar Sirait bahkan mengatakan, pembangunan hunian tetap (huntap) rumah baru bagi warga yang terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki di Nusa Tenggara Timur (NTT), dibuat menggunakan teknologi rumah tahan gempa. Teknologi yang digunakan berupa rumah pracetak yang dapat dibangun dengan panel Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) atau Rumah Unggul Sistem Panel Instan (RUSPIN).

RISHA sendiri merupakan penemuan teknologi konstruksi knock down yang dapat dibangun dengan waktu cepat, oleh karenanya disebut rumah instan. Meski instan pembangunannya tetap menggunakan bahan beton bertulang pada staruktur utamanya. Rumah ini diklaim bisa menjadi solusi berbasis teknologi mutakhir di bidang perumahan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk Indonesia yang rentan gempa.

RISHA didesain sedemikian rupa sehingga dapat menahan potensi gempa yang bergerak secara horizontal. Inovasi ini didasari oleh kebutuhan akan percepatan penyediaan perumahan dengan harga terjangkau dengan tetap mempertahankan kualitas bangunan sesuai dengan standar (SNI). 

Dikutip dari laman Kementerian PUPR, secara singkat prinsip kerja pembangunan RISHA dilakukan di dua tempat, industri komponen dan instaling di lokasi. Kedua proses tersebut dapat dilakukan secara paralel, yaitu pada saat lokasi disiapkan pematangan lahan dan pembangunan infrastruktur, maka di workshop dibuat komponen-komponennya. Ketika komponen siap dan lokasi telah matang, maka komponen bisa langsung dirakit di lokasi.

Produk RISHA, menurut Kementerian PUPR, sudah digunakan secara massal untuk pembangunan kembali permukiman pascabencana tsunami di Nagroe Aceh Darussalam dan Nias. Buku tentang RISHA juga tekah dipublikasikan secara nasional dengan jumlah sekitar 4.000 eksemplar.

RISHA telah diterapkan dan direplikasikan oleh stakeholder antara lain beberapa UKM. Respons dari pengguna produk ini cukup tinggi, dan saat ini lebih banyak diminati untuk kebutuhan pembangunan vila-vila, banyak yang tertarik untuk memiliki bangunan ini karena keunikan, sedangkan untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang menjadi kendala adalah belum adanya sistem pembiayaan yang mampu memfasilitasi kemampuan mereka, peminatan akan teknologi tersebut cukup tinggi.

Sementara itu Pengamat Gunung Api Surono atau yang akrab disapa Mbah Rono saat dihubungi Liputan6.com, Senin (18/11/2024) mengatakan, dalam penanggulangan bencana atau mitigasi, memang ada dua langkah yang bisa dilakukan, yaitu menjauhkan (relokasi) masyarakat dari ancaman bahaya yang berisiko, dan jika tidak bisa direlokasi dengan berbagai alasan, maka lakukan analisis risiko bencana. 

"Bila hasil analisis risiko bencana sudah ditemukan, dilakukan upaya pengurangan dampak bencana, yaitu lakukan mitigasi dan adaptasi," kata Surono.

Surono juga menegaskan, peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki pasti sudah ada. Tinggal masyarakat dibantu pemerintah daerah mengetahui mana daerah rawan mana daerah aman.

"Dengan KRB dapat diketahui daerah yang aman dan rawan bencana. Bila terjadi ancaman bahaya erupsi bisa segera cepat diputuskan," katanya.

Surono sendiri menyebutkan, jika memang harus direlokasi, tipe rumah apapun sebenarnya tidak masalah, kecuali memang ada catatan untuk mitigasi gempa yang dihasilkan aktivitas vulkanik gunung api. Yang penting bagi Surono adalah, pembangunan rumah baru perlu keluar dari zona KRB tadi, dan tidak dibangun di bantaran sungai yang berhulu langsung dengan Gunung Lewotobi Laki-Laki.

INFOGRAFIS RENCANA RELOKASI

INFOGRAFIS KORBAN ERUPSI

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |