Liputan6.com, Jakarta Pemerintah tampaknya mulai bergerak untuk menyelamatkan perusahaan tekstil terbesar di Indonesia yang diputus pailit, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex. Hal itu bahkan diperintahkan langsung oleh Presiden Prabowo.
Pengamat Pasar Modal, Lanjar Nafi menilai, pailitnya Sritex menimbulkan kekhawatiran terhadap kesehatan sektor tekstil di Indonesia secara keseluruhan, yang berpotensi mempengaruhi minat investor, baik domestik maupun internasional, untuk berinvestasi di industri ini. Pasalnya, Sritex memiliki hubungan erat dengan banyak pemasok lokal, termasuk produsen bahan baku, pewarna, dan aksesoris tekstil.
"Pailitnya Sritex juga berpotensi menyebabkan rantai pasok ini terganggu, yang berdampak pada kelangsungan usaha produsen kecil yang memasok bahan-bahan tersebut. Sehingga penyelamatan perusahaan ini dinilai cukup penting, karena merupakan salah satu aset bangsa yang memiliki kapasitas dan teknologi di sektor tekstil yang mendunia," kata Lanjar epda Liputan6.com, Sabtu (26/10/2024).
Sritex dikenal sebagai pemasok seragam militer untuk banyak negara. Jika Sritex pailit maka akan menimbulkan perselisihan kontraktual serta bahkan denda dari pihak-pihak yang terdampak dan ini akan mencoreng reputasi Indonesia sebagai pemasok di Industri tekstil global.
"Indonesia juga berpotensi kehilangan peluang bisnis berkelanjutan bagi perusahaan tekstil Indonesia lainnya yang belum sekuat Sritex dalam menggarap pasar Internasional," imbuh Lanjar.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa pemerintah akan segera mengambil langkah konkret untuk melindungi karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dari ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) usai perusahaan tersebut dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang.
Kelangsungan Operasional Sritex
Agus menyatakan bahwa prioritas utama pemerintah adalah memastikan kelangsungan operasional Sritex agar para karyawannya tidak kehilangan pekerjaan.
"Pemerintah akan segera mengambil langkah-langkah untuk menjaga agar operasional perusahaan tetap berjalan dan karyawan terlindungi dari PHK," ujar Agus.
Menperin juga menjelaskan, penyelamatan Sritex ini juga perintah Presiden Prabowo Subianto. Prabowo telah memerintahkan Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Kementerian Tenaga Kerja untuk merumuskan opsi dan skema penyelamatan bagi Sritex. Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa dampak dari status pailit perusahaan tidak mengorbankan karyawan.
Keruntuhan Sritex jadi Puncak Masalah Industri Garmen di Indonesia
Industri garmen dan tekstil di Indonesia sedang menghadapi badai besar. Salah satu perusahaan tekstil terbesar, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang, dengan utang mencapai Rp 24 triliun. Dampak langsung dari keputusan ini adalah ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 20.000 pekerja Sritex.
Ekonom dan pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat menilai, keruntuhan Sritex jadi pertanda bahwa industri garmen di Indonesia sudah berada di bawah tekanan dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan beberapa faktor seperti perubahan pola konsumsi dan ketatnya persaingan global. Ditambah ketergantungan yang tinggi pada pasar ekspor dan rantai pasok global yang terganggu oleh berbagai faktor eksternal. Termasuk perang dagang antara Amerika Serikat dan China serta kenaikan biaya produksi di dalam negeri.
"Kepailitan Sritex adalah puncak dari masalah yang telah lama mengintai. Dengan beban utang yang besar, ketergantungan pada permintaan global, serta tekanan dari kenaikan upah minimum, Sritex akhirnya tidak mampu lagi bertahan," ujar Achmad dalam pesan tertulis, Sabtu (26/10/2024).
"Dalam konteks ini, situasi yang dialami Sritex bukan hanya masalah internal perusahaan, tetapi cerminan dari kesulitan yang dihadapi oleh industri garmen secara keseluruhan di Indonesia," dia menambahkan.
Dalam hal ini, Achmad menyoroti kasus pemutusan hubungan kerja alias PHK massal di sektor garmen. Menurut dia, ribuan pekerja yang kehilangan kerja tak hanya berpengaruh pada aspek ekonomi saja, tapi juga sosial.
Selain itu, mayoritas pekerja di sektor garmen adalah perempuan. Kehilangan pekerjaan dalam skala besar seperti ini disebut akan memperburuk kesenjangan gender dalam tenaga kerja, dan meningkatkan tingkat kemiskinan perempuan di Indonesia.
"Ini adalah isu yang perlu dihadapi dengan serius, mengingat industri tekstil adalah salah satu sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Indonesia," kata Achmad.
Langkah Selamatkan Industri Garmen dan Tekstil
Achmad lantas mengusulkan beberapa langkah yang bisa diambil pemerintah untuk meredam situasi buruk di sektor industri garmen dan tekstil. Pertama, dengan memastikan pekerja yang terkena PHK mendapat dukungan semisal bantuan langsung tunai (BLT).
"Selain itu, program pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) harus diperluas agar para pekerja dapat mengakses peluang pekerjaan di sektor lain. Misalnya, pekerja garmen yang memiliki keterampilan menjahit atau produksi tekstil dapat dilatih untuk beralih ke industri lain yang sedang berkembang, seperti industri kreatif atau teknologi," paparnya.
Pemerintah juga diminta berkoordinasi dengan bank dan lembaga keuangan, untuk memberikan skema restrukturisasi utang bagi perusahaan tekstil yang loyo. Juga dapat memberikan insentif pajak dan subsidi energi untuk bantu pangkas biaya produksi.
Lalu, pemerintah pun harus mendorong konsolidasi di sektor industri tekstil yang masih tersebar dan terfragmentasi, dengan banyaknya perusahaan kecil hingga menengah yang beroperasi secara independen.
"Pemerintah juga dapat membentuk klaster industri tekstil yang terintegrasi, di mana perusahaan-perusahaan tekstil dapat beroperasi secara bersama-sama dalam satu ekosistem, dengan akses yang lebih mudah ke infrastruktur, bahan baku, dan teknologi produksi terbaru," imbuhnya.