Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) berkomitmen membawa Indonesia menjadi raksasa energi hijau. PGEO melihat panas bumi akan menjadi katalisator utama dalam transisi energi dan solusi strategis menghadapi krisis iklim.
Hal ini diungkap dalam Conference of the Parties (COP) 29 di Baku, Azerbaijan yang merupakan konferensi perubahan iklim yang digagas oleh Perserikatan Bangsa Bangsa.
Dalam sebuah diskusi di COP29, Direktur Utama Pertamina Geothermal Energy Julfi Hadi menjelaskan, transisi ke energi hijau merupakan kebutuhan yang mendesak, terutama bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Untungnya, Indonesia memiliki potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang luar biasa, terutama energi panas bumi yang paling cocok menggantikan peran energi fosil.
"Sebagai negara dengan potensi panas bumi terbesar kedua di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab dan peluang besar menjadi pemimpin transisi energi global. Dengan karakteristiknya sebagai energi baseload, panas bumi adalah solusi ideal untuk menggantikan bahan bakar fosil, mendorong agenda transisi ke energi bersih dan mengurangi laju perubahan iklim,” papar Julfi Hadi dalam keterangan tertulis, Kamis (14/11/2024).
Diskusi panel yang membahas pengembangan energi bersih untuk mencapai target iklim Indonesia ini juga menghadirkan pembicara lainnya seperti Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi, Executive Vice President Transisi Energi dan Keberlanjutan PT PLN (Persero) Kamia Handayani dan Director of Sustainable Energy Hub United Nations Development Program (UNDP) Riad Meddeb.
Tantangan Kembangkan Panas Bumi
Julfi Hadi menyoroti sejumlah tantangan pengembangan energi panas bumi. Dari total sumber daya 24 GW, baru sekitar 10% yang dimanfaatkan. Dengan semangat COP29, Ia menekankan pentingnya kolaborasi global untuk mempercepat pengembangan energi ini.
"Pengembangan panas bumi masih menghadapi banyak tantangan, mulai dari aspek teknis, regulasi, hingga pembiayaan. Namun, dengan kerja sama global, kita bisa menjadikan tantangan ini sebagai peluang. Negara-negara di dunia perlu mendorong terciptanya ekosistem yang mendukung pengembangan panas bumi, terutama melalui penguatan sektor keuangan hijau. Investasi yang lebih besar di sektor ini adalah kunci untuk mempercepat transisi menuju masa depan yang lebih bersih," papar Julfi Hadi.
Julfi Hadi juga memaparkan bahwa percepatan pengembangan panas bumi akan membuat Indonesia berpotensi menjadi raksasa energi hijau dunia. Ini selaras dengan peta jalan EBT nasional yang menargetkan kapasitas terpasang panas bumi 10,5 GW pada 2035. Target ini diharapkan menarik investasi sebesar USD17-18 miliar, berkontribusi hingga USD22 miliar pada PDB, serta menciptakan hingga 1 juta lapangan kerja.
Paradigma Baru
Untuk mendukung visi tersebut, PGE terus berkomitmen meningkatkan kapasitas terpasang hingga 1,5 GW pada 2030 melalui implementasi paradigma baru pengembangan panas bumi yang lebih efisien dan inovatif melalui jumlah pendekatan:
- Pengembangan bertahap untuk meminimalisasi risiko
- Penerapan teknologi baru untuk meningkatkan efisiensi
- Kolaborasi untuk meningkatkan volume dan konsolidasi pasar.
- Pengembangan bisnis "hijau" baru, seperti hidrogen hijau dan amonia hijau
- Promosi lokalisasi teknologi dengan mendorong manufaktur lokal komponen utama pembangkit panas bumi.
PGE juga mencatat pencapaian dalam penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dengan skor risiko ESG sebesar 7,1 dari Sustainalytics, menempatkannya sebagai pemimpin di sektor utilitas dan sub-sektor energi terbarukan dengan risiko terendah.
"Potensi energi baru dan terbarukan terutama panas bumi adalah kekuatan besar yang tidak hanya mendukung Indonesia memperkuat komitmen iklim dan mencapai target nol emisi pada 2060, tetapi juga mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan dan swasembada energi nasional,” tutup Julfi Hadi.