Liputan6.com, Bandung - Orang miskin dilarang sakit, sementara yang sakit harus tahu diri dan segera mati. Pejabat korupsi dan rakyatnya judi. Ini negerimu yang kaya raya, yang banyak mengekspor babu-babu.
Penggalan lirik lagu itu dibawakan salah satu penampil pada acara refleksi akhir akhir tahun Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Bandung di Bandung Creative Hub (BCH), Senin (30/12/2024).
Lagu yang berjudul “Negerimu” itu merupakan karya asli musisi jalanan di Bandung. Menegaskan bahwa seniman jalanan, lewat karya-karyanya, turut menjadi penyaksi atas muramnya kondisi kiwari.
Acara refleksi KPJ Kota Bandung jadi bagian artikulasi dari semacam manifesto bahwa mengamen adalah bentuk seni jalanan, adalah perjuangan.
Mengamen, bagi mereka, adalah ekspresi kebudayaan, ikhtiar meniti mimpi, yang juga krusial adalah perjuangan menafkahi keluarga di tengah situasi ekonomi masyarakat bawah yang serba terbatas.
“Seni kami adalah perjuangan dan perjuangan kami adalah seni,” begitu kiranya yang dilantangkan Cepi Suhendar selaku perwakilan KPJ Bandung.
Disampaikan dia, KPJ Bandung juga menolak stigma setengah mata yang kerap dilekatkan pada pengamen atau musisi jalanan, semacam dicap sebagai masalah sosial atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), pelaku kriminal, atau pemabuk.
Aktivitas mereka kerap dianggap pelanggaran regulasi yang terlampau berorientasi pada ketertiban umum, tapi minim memberikan ruang layak bagi mereka, yang menjamin ekspresi seni maupun penghidupan secara ekonomi.
Cepi berpendapat, jikapun musisi jalanan dipandang sebagai masalah sosial, maka masalah itu muncul akibat negara, khususnya pemerintah kota, yang selama ini gagal mengentaskan kemiskinan, gagal menyediakan lapangan kerja yang layak bagi semua lapisan masyarakat.
Dalam konteks tersebut, lanjut Cepi, ketika pengamen semakin banyak, maka boleh saja dipandang bahwa artinya kemiskinan meningkat.
“Apakah KPJ merekrut anggota? Tidak, anggota itu tumbuh alami di jalanan. Kami tidak pernah mengajak, ´ayo sini masuk KPJ´. Jadi kenapa (pengamen) bertambah? Berarti ini mengindikasikan sempitnya peluang usaha,” aku Cepi.
Jumlah Anggota dan Stigma
Jumlah anggot KPJ Kota Bandung saat ini tercatat sebanyak 850 orang yang berdomisili atau ber-KTP Kota Bandung. Lain dari itu, terdapat sekitar 130 orang yang tak berdomisili.
Jumlah yang lebih banyak, sambung Cepi, berasal dari luar Kota Bandung, seperti dari Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, hingga Garut, jumlahnya mencapai sekitar 1.500.
KPJ Bandung sendiri resmi dibentuk pada 1990. Pada masa awal pembentukan KPJ, jumlah anggota mereka tercatat sekitar 600 orang.
“Anggota sekarang lebih banyak, mungkin berarti kemiskinan meningkat. Menurut saya, tolak ukur melihat maju-mundurnya kota, ya, lihat jalanannnya. Kalau di jalan semakin banyak pengamen, pemerintah mungkin tidak bekerja?,” tegas Cepi.
Stigma terhadap penyanyi jalanan pun, diakui Cepi, kini semakin buruk. Saat ia pertama aktif di KPJ pada tahun 1990-an, penyanyi jalanan masih kerap dipandang sebagai anak kampus yang tengah membangun karir.
Kini, sambungnya, penyanyi jalanan termasuk anggota KPJ kerap dicurgai seorang kriminal. Memang, ada beberapa kasus kriminal yang dilakukan oleh penyanyi jalan, tapi itu bukan berarti semua penyanyi jalanan demikian.
Di KPJ senditi, setidaknya ada dua syarat utama yang harus dipatuhi jika ingin menjadi anggota, “tidak boleh kriminal dan berantem dengan saudara sendiri,” tegas Cepi.
Motivasi dan Rekemondasi Perwal
Dalam amatan Cepi di KPJ, setidaknya ada beberapa motivasi yang melatar belakangi para penyanyi jalanan beraktivitas di jalan.
Pertama, memang kemendesakan ekonomi. Orang-orang yang belum mendapat pekerjaan atau peluang usaha lain harus menyambung hidup di jalanan.
Kedua, adalah dampak urbanisasi. Masyarakat dari luar kota merangsek, mencari penghidupan di pusat-pusat kota. Selanjutnya, ada pula yang didorong oleh keinginan berkarya atau meniti profesi sebagai musisi.
Sehingga, penyanyi jalanan tidak cukup dilihat dengan cara pandang yang terlalu simplistis sebagai masalah perkotaan yang ditanggapi cuma dengan razia demi razia.
Pemerintah dinilai harus aktif juga komprehensif, dari mulai keseriusan menghadirkan keadilan ekonomi, hingga mendukung serta memfasilitasi musisi jalanan yang ingin berkarya.
Oleh karena itu, alasan Cepi, refleksi akhir tahun KPJ Bandung turut mengundang banyak pihak, perwakilan DPRD, pemerintah daerah, hingga aparat kemananan. Harapannya, semua bisa bekerjasama.
Cepi menyinggung soal pihak pemerintah yang sempat merekomendasikan regulasi dalam peraturan wali kota (perwal) terkait perlindungan dan pemajuan musisi jalanan.
“Kita lihat nanti, kalau memang merekomendasikan perwal, kita akan tagih itu, kita akan dorong perwal itu. sampai betul-betul terjadi. Kajiannya harus bener-bener. dilibatkan praktisinya, kami dilibatkan, selain juga akademisi-akademisi.”