Liputan6.com, Jakarta - Dugaan pelanggaran yang dilakukan tiga perusahaan pemasok kayu cincang (woodchip) untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tenayan Raya di Riau menjadi sorotan banyak pihak. Ketiga perusahaan tersebut diduga tidak memiliki izin pemanfaatan kayu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Perusahaan yang dimaksud berlokasi di Kabupaten Kampar dengan inisial BW dan PT NSP, serta satu perusahaan lainnya yang berlokasi di Pekanbaru berinisial PT C. Berdasarkan informasi yang diperoleh, Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Wilayah III Pekanbaru mengaku tidak pernah menerima permohonan izin industri dari ketiga perusahaan tersebut.
Anggota Komisi XII DPR RI, Yulian Gunhar, menyoroti adanya dugaan pelanggaran tersebut. "Seharusnya, dalam pemanfaatan kayu cincang seperti ini, perusahaan wajib memiliki izin industri dari Kementerian Kehutanan, khususnya izin pemanfaatan kayu gelondongan. Jika tidak, ini jelas pelanggaran serius," kata Gunhar, Selasa (6/1/2025).
Dirinya menambahkan, pemanfaatan kayu limbah untuk kebutuhan PLTU seharusnya dilakukan secara legal dan terkontrol.
"Jangan sampai kebutuhan PLTU justru membuka ruang bagi praktik penebangan hutan secara ilegal yang merugikan negara dan lingkungan," lanjutnya.
Dalam waktu dekat, Komisi XII DPR RI akan meminta klarifikasi dari pihak PLTU Tenayan Raya dan ketiga perusahaan pemasok terkait dugaan penggunaan bahan baku ilegal tersebut.
"Kami akan menindaklanjuti kasus ini dalam fungsi pengawasan Komisi XII, karena menyangkut tata kelola sumber daya alam yang baik," ujarnya.
Lebih lanjut, politisi PDI Perjuangan ini mendorong pihak kepolisian untuk segera bertindak tegas mengusut dugaan penggunaan kayu ilegal ini.
"Penegakan hukum harus dilakukan tanpa kompromi untuk memberikan efek jera dan menjaga keberlanjutan hutan Indonesia," pungkasnya.
Tekan Laju Deforestasi
Sementara itu, Yayasan Madani Berkelanjutan mengingatkan bahwa untuk menjaga daya dukung lingkungan dan mencapai target iklim maka Indonesia perlu menekan laju deforestasi, yang tidak dapat terwujud jika dilakukan pembukaan lahan secara masif dan penebangan liar.
Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan Giorgio Budi Indrarto ketika dihubungi ANTARA dari Jakarta, Kamis, mengatakan rencana besar pemerintah untuk memanfaatkan lahan hutan cadangan sebagai sumber ketahanan pangan, energi, dan air perlu mempertimbangkan beberapa hal, termasuk dampaknya kepada lingkungan serta target iklim nasional yang hendak dicapai.
Dia memberikan contoh bagaimana Indonesia sudah mendekati batas maksimal luas kebun sawit, yang berdasarkan riset Madani Berkelanjutan, Sawit Watch dan Satya Bumi batasnya berada di kisaran 18,15 juta hektare.
Menurut pemutakhiran data Badan Informasi dan Geospasial (BIG) serta Kementerian Pertanian pada 2023, luas perkebunan sawit mencapai 17,3 juta hektare. Sementara menurut data dari lembaga non-pemerintah Sawit Watch total perkebunan sawit di Indonesia telah mencapai 25,07 juta hektare.
Dia menyoroti hitungan tersebut baru terkait dengan perkebunan sawit. Jika terjadi pembukaan hutan secara masif untuk kebutuhan lain, maka akan berpengaruh juga terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan.
"Nanti mestinya ini jadi pancingan buat pemerintah, bikin daya dukung daya tampung, hitungan daya dukung daya tampung untuk komoditas yang lain sebelum mengutarakan akan membuka lagi. Ini baru dari konteks ekologi, daya dukung, daya tampung, carrying capacity," jelasnya.