Liputan6.com, Jakarta - Indonesia merupakan negara yang paling rawan akan bencana. Kondisi geografis negara kepulauan yang dikelilingi lempeng tektonik utama dan laut ini membuat Indonesia rentan terkena bencana gempa bumi, tsunami, dan cuaca ekstrem yang kerap mengakibatkan banjir dan tanah longsor.
Dampak bencana tidak hanya mengancam keselamatan. Lebih dari itu, bencana menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan imbas terpengaruhnya mata pencaharian, aset, dan kehidupan komunitas terdampak. Ditambah dengan memburuknya kondisi iklim dunia, kerugian ini diperkirakan akan menjadi lebih parah ke depannya.
Menyadari akan hal tersebut, Resilience Development Initiative (RDI) dan Pusat Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung (PPMB ITB) mengadakan seminar “Shaping Resilience: Financing a Disaster-Resilient Indonesia” yang dilaksanakan atas kerja sama Centre for Disaster Protection (CDP) pada Selasa, 26 November 2024 di Bandung.
Seminar ini meliput strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) yang dicetuskan oleh Kementerian Keuangan untuk menjawab tantangan penanggulangan bencana di Indonesia.
Sesi pertama mengupas kondisi pembiayaan risiko bencana di Indonesia, termasuk peluang, tantangan, dan inspirasi dari praktik terbaik global, yang akan dipandu oleh Dr. Saut Sagala, Associate Professor di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB dan Shakira Mustapha, Research Lead dari Centre for Disaster Protection (CDP).
“Strategi PARB merupakan topik yang sedang berkembang. PARB ditujukan untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan risiko bencana dan memfasilitasi transfer risiko ke pasar swasta,” kata Saut.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang dirilis pada tahun 2018 bahwa dari tahun 2000 hingga 2016, Indonesia mengalami kerugian ekonomi tahunan rata-rata sebesar US$ 1,54 Miliar (IDR 22,8 Triliun). Faktor lain yang ikut memperburuk dampak bencana di Indonesia adalah tingginya prevalensi kemiskinan.
Data BPS menyatakan pada tahun 2023 sekitar 25,22 juta jiwa atau setara dengan 9% dari populasi berada di bawah garis kemiskinan. Banyak dari mereka yang bergantung pada sumber daya alam untuk mata pencaharian mereka, khususnya di sektor pertanian dan informal, yang meningkatkan kerentanannya terhadap bencana dan memperburuk risiko terperosok lebih dalam ke dalam kemiskinan selama peristiwa tersebut, sehingga merusak upaya pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Saut mengatakan, strategi PARB saat ini sedang dalam tahap implementasi. Beberapa langkah konkrit yang telah terlaksana adalah pengembangan instrumen keuangan dengan mengintegrasikan pelapisan risiko bencana, mengembangkan kerja sama dengan pihak swasta untuk mengembangkan produk-produk asuransi yang menjawab kebutuhan masyarakat, penguatan regulasi, dan sosialisasi dan edukasi.
Dalam pelaksanaannya, lanjut Saut, terdapat beberapa tantangan berupa rendahnya penetrasi asuransi terutama pada masyarakat berpenghasilan rendah, kurangnya kesadaran masyarakat, dan kompleksitas risiko bencana di Indonesia itu sendiri.
Melalui kerja sama dengan CDP, RDI telah melakukan beberapa penelitian kolaborasi mengenai pembiayaan asuransi dan resiko bencana dari tahun 2023. Sebagai bentuk sosialisasi dan edukasi PARB maka dilaksanakanlah seminar ini. Seminar PARB ini menghadirkan empat sesi utama yang membahas topik strategis untuk memperkuat ketahanan bencana di Indonesia.
Adapun sesi kedua menyoroti solusi pembiayaan inovatif untuk pemberdayaan masyarakat, dengan fokus pada kolaborasi publik-swasta dan pemanfaatan data berbasis riset, yang disampaikan oleh Dr. Ir. Udrekh, S.E, M.Sc. selaku Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana, BNPB) dan Prof. Dr. Ir. Krishna S. Pribadi (PPMB ITB).
Selanjutnya, sesi ketiga mendalami integrasi instrumen keuangan inovatif dan pendekatan strategis untuk membangun kerangka kerja yang berkelanjutan, dengan menghadirkan pembicara seperti Ikatri Meynar Sihombing, M.A. (Spesialis Mikrofinans), Hengki Eko Putra, M.Sc. (Principal Research & Development, Maipark Re), dan Dra. Dumaria Rulina Tampubolon, M.Sc., Ph.D. (Dosen FMIPA, ITB).
Terakhir, sesi keempat menyoroti praktik nasional dan global tentang Perlindungan Sosial Adaptif (PSA), yang memberikan wawasan strategis untuk penguatan respons dan pemulihan bencana. Sesi ini menghadirkan Daniel Clarke, Ph.D. (Direktur, Centre for Disaster Protection), Hasatama Hikmah (Ketua Kelompok Kerja Kesiapsiagaan dan Mitigasi, Kemensos).
Seminar ini dirancang untuk memberikan wawasan mendalam dan solusi praktis dalam upaya memperkuat strategi ketahanan bencana di Indonesia.
Seminar tersebut menekankan pentingnya kemitraan antara lembaga penelitian, badan pemerintah, dan pemangku kepentingan swasta dalam mendorong ketangguhan terhadap bencana. Upaya bersama yang dilakukan oleh RDI, CDP, dan PPMB ITB menunjukkan bagaimana kebijakan, penelitian, dan implementasi praktis dapat bersinergi untuk menciptakan perubahan yang bermakna.
Diskusi dalam seminar ini menyoroti perlunya pengembangan kerangka pembiayaan risiko bencana (PRB), mempromosikan kemitraan publik-swasta, dan memberdayakan komunitas rentan dengan alat keuangan yang disesuaikan, seperti mikroasuransi dan perlindungan sosial adaptif.
Di tengah meningkatnya risiko bencana dan kerentanan ekonomi yang dihadapi Indonesia, inisiatif seperti strategi PARB yang diinisiasi oleh Kementerian Keuangan menjadi sangat penting untuk meningkatkan ketangguhan.
Seminar bertajuk "Shaping Resilience: Financing Disaster-Resilient Indonesia" ini menjadi platform krusial untuk bertukar pengetahuan, berbagi praktik terbaik, dan memperkuat kolaborasi. Wawasan yang dihasilkan diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap kesiapsiagaan, pemulihan, dan stabilitas sosial-ekonomi jangka panjang Indonesia dalam menghadapi risiko bencana.