Teknologi Hidrogen Cocok untuk Kendaraan Komersial Berat Jarak Jauh, Ini Alasannya

1 week ago 23

Liputan6.com, Jakarta - Teknologi hidrogen alias fuel cell electric vehicle (FCEV), memang terus diusahan untuk bisa dikembangkan di Indonesia. Salah satu pabrikan yang serius untuk pemanfaatan bahan bakar yang hanya menghasilkan emisi berupa air ini, adalah Toyota.

Namun, tidak hanya untuk mobil penumpang, teknologi hidrogen ini sangat cocok untuk kendaraan komersial berat, dengan jarak tempuh yang jauh.

Dijelaskan Engineering management Division PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Indra Chandra Setiawan, memang dari segi ekonomis operasionalnya, truk hidroogen akan lebih hemat dibandingkan truk listrik.

Terlebih, jika berbicara bobot baterai yang digunakan, yang pastinya akan mempengaruhi daya angkut sebuah truk komersial.

"Truk heavy duty, kalau bobotnya 10 ton, baterainya 2 ton (truk listrik). Pasti pengusaha tidak mau. Sedangkan untuk FCEV, paling tambah sekitar 500 kg saja," jelas Indra, saat ditemui di pabrik TMMIN, Karawang, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Namun, kendaraan komersial berbahan bakar hidrogen ini, bisa berhasil jika perusahaan angkutan barang memiliki rute yang konsisten atau tidak berubah. Selain itu, di sepanjang titik tujuan, memiliki stasiun pengisian hidrogen agar transisi energi bersih dapat terjadi.

Selain itu, kendaraan hidrogen untuk truk berat, juga memiliki keunggulan yang sama seperti truk listrik, mulai dari akselarasi instan, kesenyapan kabin, dan juga ditambah pengisian hidrogen yang cepat, hanya 3 sampai 5 menit tergantung kapasitas tangki.

Tidak hanya itu, truk hidrogen juga bisa tanpa emisi, dan juga memiliki jarak tempuh yang cukup jauh.

"Dengan membuat sistem fuel cell ini, yang prioritasnya lebih ke arah heavy duty, yang berat-berat atau long distance yang jauh-jauh," tukas Peneliti Teknik Elektrokimia Intsitut Teknologi Bandung (ITB) Hary Devianto.

Tantangan Toyota Jual Mobil Hidrogen di Indonesia

Toyota menjadi salah satu produsen yang cukup ambisius untuk pengembangan teknologi mobil hidrogen. Salah satunya, adalah dengan memperkenalkan model Mirai di Tanah Air beberapa waktu lalu.

Bahkan, jenama asal Jepang ini berharap, bisa menjual atau produksi kendaraan hidrogen ini pada 2030. Namun, di sisi lain, berdasarkan data, penjualan untuk mobil hidrogen alias fuel cell electric vehicle (FCEV) ini mengalami penurunan, setidaknya itulah yang terjadi di Amerika Serikat.

Harga hidrogen meroket dan stasiun pengisian bahan bakar telah ditutup, sehingga memaksa pemiliknya untuk melakukan berbagai cara agar kendaraan tanpa emisi ini tetap dapat beroperasi.

Indra Chandra Setiawan, Engineering managemen Division PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) tak menampik data penurunan penjualan mobil hidrogen ini. Tapi, pihaknya tetap optimistis terkait masa depan kendaraan ramah lingkungan ini, dan bisa berkaca dari battery electric vehicle (BEV).

"Tadinya kan, kalau kita lihat baterai itu, per kWh di atas US$ 1.000. Nah, beberapa tahun belakangan, dengan economic of scale akhirnya harga baterai per kWh bisa lebih murah lagi," jelas Indra, saat media workshop Hydrogen Ecosystem, di Karawang, Jawa Barat, Senin (14/4/2025).

Terlebih lagi, menurut Indra, saat ini China sudah mengembangkan baterai LFP (Lithium Iron Phosphate). Jadi, tidak menggunakan nikel, mangan, dan kobalt, dan memakai ferro atau besi yang memang lebih murah, dan akhirnya saat ini harga baterai per kWh bisa US$ 100.

"Saya sampaikan, kalau misalkan satu jalan buntu, kita cari jalan lain karena teknologinya sama, fuel cell stacknya sama. Nah, bagaimana kita pivoting ke misalnya hidrogen untuk heavy duty (kendaraan berat), yang sama sekali saat ini mungkin Tesla Semitruck atau apa, yang belum banyak masuk produksi massal," tambah Indra.

Read Entire Article
Saham | Regional | Otomotif |